Aku kesulitan menggaris tepian langit yang patah oleh malam. Tidak ada rembulan. Hanya seusap senyum dari kamboja yang kedinginan.
Barangkali aku semestinya menulis sajak-sajak yang berharap sangat syairnya menghentak-hentak. Tapi yang yang kutemukan justru ceruk hati yang tergeletak. Menunggu. Keseluruhan kilas balik masa lalu.
Memutar pertunjukan film bisu. Ke dalam rangkaian segmen romantisme yang cengeng. Saat airmata terbuat dari hujan. Dan cuaca mendung adalah layar lebar dari bioskop gratisan.
Tidak cukup sampai di situ. Dunia seolah hanya perpustakaan yang terlalu besar. Dengan tumpukan buku-buku usang yang berjajar. Dan semua frasa seolah diciptakan sebagai ujaran-ujaran makar.
Tapi dunia ternyata sangat sempit. Tidak ada jalan lain kecuali menghampiri kepundan lava. Lalu mendakinya. Tidak ada muara selain menyinggahi pantai. Lalu menjemput percikan badai.
Dan drama usai dengan sendirinya.
Disertai dengan upacara pemakaman kata-kata.
Bogor, 28 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H