Sembari menikmati hujan mengguyur keringnya hati, aku menghitung berapa rintik yang sampai di bumi. Senja sedang merapat. Sedangkan langit nampak memucat. Aku sendiri berada di antara kisah-kisah renta. Tentang sepotong cinta, sepetik rindu, dan serpihan airmata.
Ada sepotong cinta. Larut dalam ribuan babak drama. Menjadi episode-episode absurd, mimpi buruk, dan hikayat teruk.
Ada sepetik rindu. Dihanyutkan muara masa lalu. Seringkali menjelma secara terencana, dan tak jarang juga hadir tiba-tiba. Ke sebuah frasa. Ketika pasal-pasal yang dibuat oleh romantika. Ditenggelamkan oleh membanjirnya masa.
Ada serpihan airmata. Di mana-mana. Di gurun pasir yang kehilangan oase. Di savana yang kesulitan menyusun kolase. Dan di kota-kota yang kehabisan romantisme.
Ada yang tidak ada. Ketika orang-orang mulai membuta. Terhadap cuaca, almanak, dan sandyakala.
Tidak ada cuaca berseri yang diterbitkan pagi hari. Tidak ada cuaca berangin lembut yang diselimuti kabut. Tidak ada cuaca musim dingin selain hanya kebekuan ingin.
Tidak ada lagi almanak yang mencatat kisah-kisah romantis. Tidak ada lagi almanak yang dipergunakan untuk memberi nyawa sajak-sajak liris. Tidak ada lagi almanak untuk menanti kedatangan dinihari berwajah manis.
Tidak ada sandyakala yang bisa memanjakan retina. Tidak ada sandyakala mancala rupa ke dalam waktu yang paripurna. Tidak ada sandyakala yang mengakhiri hari dengan sempurna.
Tidak ada. Sama sekali telah tidak ada.
Bogor, 6 Oktober
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H