Aku menyudahi hari-hariku yang dikerumuni hujan dengan mengundang kemarau datang bertandang. Aku ingin rasa hangat menjalar seperti jalinan akar-akar. Sehingga aku bisa lebih mudah menuliskan cinta daripada harus mengumpat lusinan berita. Tentang kericuhan yang dipasung tajuk-tajuk bersamsara.
Di petang yang diselimuti rasa gamang, aku menyusuri jalan setapak yang lengang. Jalan yang dibuat oleh sinapsis otak yang terus menerus berontak. Terhadap malam yang gagap dan kisah-kisah gugup. Ketika langit memutuskan untuk meredup dan jantung hanya separuh berdegup.
Aku berharap ada mimpi terbaik yang singgah di pucuk dinihari. Menyayat segenap sepi. Ke dalam keramaian yang dipenuhi perbincangan. Dan bukan kegaduhan yang kehilangan percakapan.
Sepetik puisi, ditumbuhkan rumpun bunga melati. Seputik sajak, ditambahkan dalam kelopak mata sunyi. Cukup bagiku untuk tidak lagi mengenang. Apa yang dinamakan ruang-ruang lengang. Ketika hujan berhenti. Tapi aku meratapinya sebagai kisah sepi.
Syair-syair yang lambat dituliskan. Tak akan kembali ditemukan. Apalagi jika hujan menghapusnya. Tanpa sengaja. Di saat cuaca tak henti patah hati. Karena berselisih jalan dengan musim yang dicintai.
Bogor, 28 September 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H