Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Kisah Empat Musim

Diperbarui: 20 September 2020   19:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pxhere.com

Berapa banyak airmata yang bisa ditampung bumi. Saat mata air mengering secepat padamnya api. Di puncak musim penghujan. Pada masa ketika cuaca seringkali bertukar tempat. Dengan isi otak yang mampat.

Berapa juta ton plastik menggantikan ubur-ubur kotak. Mengambang di lautan yang kehabisan riak. Saat perahu nelayan terdampar di buritan pulau. Menunggu. Hingga purnama menyusut. Menyusul langkah kegelapan. Saat itulah mereka bisa menangguk ikan. Untuk sekali makan.

Musim dingin lalu dipanasi oleh sekian banyak tungku. Dari pabrik-pabrik raksasa yang membakar langit. Setiap harinya. Saat orang-orang menikmati segala ingin. Sambil duduk di ruangan berpendingin.

Musim gugur adalah saat yang tepat untuk menggali lubang kubur. Bagi kematian hutan dan segala perabotnya. Menjadi sebuah pesta. Dari sekian banyak upacara. Memperingati arus zaman. Ketika dunia perlahan kehilangan peradaban.

Musim panas menyengat dengan dahsyat. Mencairkan sejarah masa lalu. Dari gunung-gunung es beku. Terapung dan pecah. Seiring hati yang terbelah.

Musim hujan menghujani tundra. Bukan lagi menumbuhkan kayu Ara. Air bah dilepas dari busurnya. Seperti gendewa di padang Kurusetra.

Bogor, 20 September 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline