Mungkin saja benar. Kabar-kabar yang disitir dari ujaran-ujaran pandir. Bahwa menjadi lelaki itu tak boleh pendiam. Gampang dirobek-robek lebam. Mudah dikoyak-koyak masa silam.
Lebih baik sedikit berbahaya. Lalu menjadi elang yang menyambar-nyambar dari udara. Mengincar lamunan yang mencoba bersembunyi di relung-relung hati. Sampai akhirnya sanggup mengusir sekawanan sepi.
Seorang lelaki. Tumbuh bukan sebagai kembang melati. Dia adalah belati. Diasah oleh tumpulnya hidup. Ditajamkan oleh banyaknya berita-berita buruk.
Seorang lelaki. Adalah sinonim dari matahari. Memadamkan pagi dan menyalakan senja. Dengan cara tidak sekedarnya. Karena seorang lelaki, adalah sekaligus api.
Lelaki adalah tungku. Dibangun sekeping demi sekeping masa lalu. Terkadang mesti membatu. Tak jarang diiris sembilu. Lalu menjelma dalam sosok rumpun bambu. Menjadi seruling Nabi Sulaiman. Memainkan segala jenis musik kerinduan.
Lelaki adalah musim hujan. Menjatuhi segenap kericuhan. Kemudian berdamai dengan bunga-bunga padi. Hingga ceruk nafasnya berhenti.
Bogor, 20 Agustus 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H