Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Syair-syair Hujan

Diperbarui: 9 Agustus 2020   19:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pexels.com

Pada akhirnya, ketika senja tergelincir di gumpalan awan terakhir hari ini, hujan tiba bersama segala riuh rendah kesyahduannya. Bumi yang terpanggang, sejenak melepaskan penat yang merasuk hingga sungsum tulang belakang.

Syair-syair hujan manjatuhi seribu kebenaran. Tentang Cemara yang tengadah berdoa, Kamboja yang kehilangan bunganya, dan tanah kering yang meronta di antara retakan bara.

Pada syair pertama, hujan menyampaikan pesan dari langit, mengenai rasa rindu yang terhimpit oleh pasal-pasal pahit.

Pada syair kedua, hujan melampiaskan kerinduannya dengan menyanyikan gending asmaradana. Bercerita kepada semua yang sedang nandang wuyung. Tinggalkanlah segera raut muka murung. Lihatlah tarian Gandrung dari Banyuwangi. Maka kau akan berselisih jalan dengan lintasan sunyi.

Pada syair ketiga, hujan menarikan frasa bahagia yang sekarang lebih banyak bermukim di dunia maya. Mengingatkan tentang secangkir adrenalin yang fana. Dari aroma kopi yang mengepulkan puncak rasa ingin yang paripurna.    

Saat tiba pada syair pamungkas, hujan memberikan batas yang jelas bagi para penyintas. Yaitu sebait puisi dari kedalaman hati, dan setangkai mimpi yang dimekarkan oleh penghujung dinihari.

Bogor, 9 Agustus 2020  




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline