Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Senja yang Tak Jadi Patah Hati

Diperbarui: 8 Agustus 2020   19:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://cdn.pixabay.com

Pada suatu senja yang ranum, ketika cahaya matahari hari ini memetik helai kamboja terakhir, hujan mendadak tiba tanpa penduhuluan atau prakata. Rintiknya adalah bait-bait puisi, iramanya mengetuk pintu hati, dan kisahnya diabadikan dalam hikayat yang tak pernah mati.

Senja kemudian menjadi rama-rama. Tenggelam di lubang hitam. Tempat banyak kerinduan bersemayam. Tak tersampaikan. Lalu menjelma menjadi potongan-potongan malam.

Gelap yang melindap di dalam peti, bernyanyi bersama detak nadi paling sunyi. Dari orang-orang yang berduyun-duyun mencari keramaian. Di tengah bising percakapan yang kehabisan ruh dan badan.

Langit menyimpan warna biru untuk esok hari. Saat ini, ia memilih untuk mencoba mencintai dirinya sendiri. Di antara lamunan, bintang-bintang, dan tubuh rembulan yang melebam kelam.

Lamunan tentang cinta seorang manusia kepada kisahnya yang usang. Terselip di sela-sela bintang yang redup karena banyaknya berita buruk. Lalu dirajam cahaya rembulan yang nyaris sepenuhnya padam.

Tapi senja bukanlah sekedar kosakata. Ia ada karena putaran kantata yang dinyanyikan oleh paduan suara. Dari derit roda kereta yang menyeret sepi, hingga denting kecapi yang dipetik pada saat pintu mimpi dibuka kembali.

Teruntuk siapa saja yang tak jadi patah hati. Bukan hanya sebab mawar berduri tak sempat melukai, namun juga karena kabar berita dari pagi, bahwa menguarnya wangi kemuning dan melati, kembali terjadi.

Bogor, 8 Agustus 2020




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline