Aku ingin menggambar titik-titik hujan pada secarik mendung yang lepas dari langit. Sore ini. Ketika rasa gerah menyudahi upayaku menulis beberapa bait puisi. Tentang cuaca yang tiba-tiba hanya terbagi dua. Pedih dan bahagia.
Saat petang mulai menjatuhkan bintang-bintang di pelupuk mata orang-orang, aku malah berniat mencari di mana letak kunang-kunang. Aku ingin menyalakan pelita lewat tubuhnya yang benderang. Sebagai pengingat bahwa semesta itu tidak cuma ruang-ruang raksasa. Namun juga sesempit pandangan mata.
Suara-suara entah darimana, menyanyikan lagu-lagu yang diaransemen ulang oleh pucuk cemara dan helaian bunga kamboja. Dengan tenang mengisi partikel-partikel udara yang sedang mencoba memberi kabar kepada siapa saja bahwa semua masih baik-baik saja. Tidak perlu cemas. Karena batas antar horison masih terlihat jelas.
Mulai malam ini, hikayat airmata tidak perlu diceritakan kembali. Cukup dituliskan dalam buku-buku fantasi tentang rasa pedih yang kehilangan narasi.
Semenjak malam ini, semestinya epos sukacita dikisahkan berulangkali. Baik itu melalui tatapan, ruang-ruang percakapan, maupun percikan-percikan kenangan.
Bogor, 27 Juni 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H