Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Kegetiran Asa

Diperbarui: 14 Mei 2020   08:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://images.pexels.com

Seyogyanya judul tulisan ini dibuat dalam puncak rasa romantis karena dinihari kali ini terbangun oleh kehadiran gerimis. Tapi udara yang mampat ternyata membuat bait-baitnya tercekat. Sehingga kata-kata yang semestinya saling memuja, berubah wujud menjadi kecemasan yang meraja.

Bagi sebuah cemara yang setiap harinya berdansa dengan wangi bunga kuning kamboja, berita-berita bertajuk duka menjadi hal biasa. Negeri ini sedang melakukan uji coba. Bagaimana cara terbaik berhadapan dengan airmata.

Di antara samar bau trotoar, tidak ada lagi bau endapan lumpur pejalan kaki. Sudah beberapa lama jalanan menjadi panggung tak bertuan. Tanpa pertunjukan kriminal. Maupun drama-drama kehidupan yang kolosal.

Hari, sedang patah hati. Matahari, mesti menyinari ruang-ruang yang sepi. Hujan, berkelindan di wilayah tanpa percakapan. Dan senyuman, menjadi barang langka yang begitu mahal untuk dijajakan.

Almanak yang angka-angkanya terus berkejaran menjadi sejarah, kemarin adalah hari ini yang menjadi masa silam, hari ini adalah terjemahan bebas dari apa yang disebut kesunyian, dan besok adalah anyaman waktu yang dikatakan menyamak harapan.

Dan asa memang akan selalu ada. Asa adalah satu-satunya yang mesti dijaga. Agar tak lepas dari pandangan mata, lantas kita digolongkan sebagai orang-orang putus asa.

Yang memandang getir atas semua yang masih tersisa.

Bogor, 14 Mei 2020




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline