Ini saatnya menggelar beberapa perkara.
Malam mulai membuta, yang berarti ada perkara cahaya.
Suara-suara menguar namun kehabisan percakapan, itu artinya terdapat perkara lidah kelu yang memutuskan gagu.
Langit yang mudah padam membiaskan perkara tentang rembulan yang hatinya meruam karena kerinduan atau dendam.
Dan orang-orang yang tenggelam dalam diam tentu saja selalu memperkarakan hilangnya keramaian.
Cahaya adalah relikui kegelapan. Keduanya ada bila salah satunya tiada. Begitu seterusnya. Hingga lalu sebuah perkara mengatakan, cahaya adalah kehidupan dan kegelapan adalah kematian. Padahal bisa saja sebaliknya. Orang bisa mati terbakar matahari. Atau orang dapat hidup di ruang kelam yang paling sepi.
Pada saat percakapan dihabiskan untuk memulai berbantahan, maka perkara yang timbul kemudian adalah lericuhan. Seperti orang-orang yang menciptakan lintasan riak angin di linimasa. Lupa bahwa angin adalah anak-anak badai yang mudah saja mengadu kepada ibundanya.
Rembulan adalah artefak cahaya yang tidak memiliki cahaya. Baginya langit adalah panggung persembahan. Bagi matahari yang berjalan kemalaman.
Dan orang-orang memang sengaja menenggelamkan diri dalam ramai agar bisa menemui sunyi. Sebuah tempat untuk kembali menggali sisa-sisa bebunyian hati. Setelah begitu lama menghabiskan waktu mendiamkan pertengkaran. Antara tingginya puncak keinginan dengan dalamnya ngarai kegagalan.
Bogor, 19 April 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H