Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Puisi | Elegi Surga dan Liang Pusara

Diperbarui: 20 April 2020   21:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: pixabay.com/cocoparisienne

Mungkin selanjutnya tidak hanya kamboja, yang akan menggugurkan bunga kuningnya. Bisa saja seekor elang, yang terbang mengiris udara, akan termangu di puncak tebing goa, ikut berbelasungkawa.

Atas pranala sepi. Dari seisi bumi yang kehabisan persediaan, bahagia dan mimpi. Para penghuni, menjauhkan diri dari segalanya. Termasuk dari buku-buku yang belum selesai dibaca. Dari ayat-ayat yang kehilangan suara. Dan dari potongan-potongan kubah mesjid yang merindukan bedugnya.

Skenario terbaik dari sebuah perkara pelik, tidak pernah dituliskan, bahkan oleh orang-orang paling pintar sedunia. Kegaduhan yang tersisa, hanya ada pada mulut-mulut comberan trias politika. Berteriak dalam diam. Berdiam diri dalam gumam. Membuat para jelata kebingungan. Matiku hari ini atau esok pagi.

Langit yang cerah memperlihatkan kota yang semakin mewah. Penduduknya berhamburan tak tentu arah. Bersembunyi di lubang-lubang berduri. Sibuk mendengarkan radio dan televisi. Matiku layak dikubur atau hikayatku ikut terkubur.

Barisan bunga-bunga. Bergantian mendermakan wanginya. Bagi para syuhada yang diterima surga. Namun ditolak oleh liang kuburnya.

Bogor, 18 April 2020




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline