Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Puisi | Risalah Perempuan yang Cemas atas Air Matanya

Diperbarui: 16 April 2020   00:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: pixabay.com

Sepotong risalah. Tentang perempuan yang kehabisan tengah malam. Karena matanya hanya bisa mengenali pagi. Dibacakan oleh para penyair, yang kehilangan ruh dari kata-katanya. Mati, bahkan sebelum dianggit tulisannya.

Pada setiap jejak hujan, yang berhamburan di setiap tikungan jalan. Lahirlah sebuah demokrasi, bagaimana memilih kata-kata yang pantas, untuk menyatakan cuaca, sebagai pemilik sebenarnya masa.

Tidak ada lagi kata langit, sebab yang teringat adalah rasa sakit, atas udara yang begitu mencekam, pada sebuah musim yang kehilangan garam. Hambar dan sulit ditakar.

Seorang perempuan. Berusaha menyusun air matanya. Dalam sebuah teka-teki. Apa saja yang membuatnya begitu berduka.

Selain kerinduan tentu saja. Karena rindu tak mengenal gelisah. Atau rasa cemas yang dikemas. Dengan kata baik-baik saja.

Sunyi itu, bukan sepi yang bunuh diri. Tapi keramaian yang patah hati. Atas banyaknya percakapan. Yang kehabisan halaman. Pada buku-buku di segala jenis perpusatakaan.

Risalah seorang perempuan, yang cemas atas airmatanya. Menjadikan seorang penyair, yang hanya bisa hidup di dunia sihir, memahat butirannya, sebagai mantra-mantra.

Bogor, 16 April 2020
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline