Para mpu menempa besi sebagai senjata di halaman-halaman kitab yang mereka tulis untuk menghadapi kalabendu.
Para pertapa memejamkan mata lebih dalam lagi agar bisa menemani pikiran orang-orang yang terus menerus dihantui kecemasan akan duri-duri berbisa yang menjalar di darah mereka.
Para pejalan menghentikan perjalanannya dan mencari tempat persinggahan paling memadai agar bisa terlindung dari cengkeraman badai.
Para pemimpi menuangkan secawan kopi tanpa gula di sebuah senja yang kehabisan matahari lantas mulai menyalakan api demi sebuah kehangatan yang sekian lama kehilangan percakapan.
Para pelantun mendendangkan puja puji bagi semesta yang sedang berada pada amuk murka agar bersedia sejenak melilihkan hati bagi orang-orang yang mulai mengering iris matanya setelah menyaksikan serial pertunjukan duka.
Para penari terus berdansa dengan cuaca apapun bentuknya supaya kelelahan tidak membuat pompa-pompa adrenalin berhenti di sebuah titik setelah panjangnya koma.
Para penduga terus saja mempermainkan gaya bahasa atas nama kemerdekaan berita meski separuhnya adalah narasi-narasi ngayawara.
Para pemimpin terduduk di beranda sambil mengira-ngira bagaimana sebaiknya bersikap kepada rakyatnya di tengah himpitan pandemi versus trias politica.
Para kita berdiam diri di sudut paling sepi sampai nanti akan diumumkan bahwa langit dan bumi telah selesai berhibernasi dan kita diperkenankan kembali untuk merunut suapan-suapan nasi.
Semua adalah para pelakon yang bertempat tinggal di etalase kaca yang rapuh dan sangat berbahaya. Di dunia yang mudah pecah menjadi serpihan berita yang semakin tidak baik-baik saja.
Bogor, 4 April 2020