Hanya kepada hujan aku sanggup bercerita tentang lusinan kata-kata yang kembali ke rahim senja. Enggan dilahirkan sebagai esai, sajak maupun puisi. Karena dipergunakan terus menerus sebagai diksi yang beronak duri. Berkisah tak habis-habis tentang ketakutan, kecemasan, hingga tanah-tanah yang menolak jasad-jasad dimakamkan.
Lalu hujan menerima segala keluh kesah dengan membanjirkan rintik yang berdetik seperti jarum jam. Ritmis dan mencekam. Seolah membagi lantunan doa agar dibaca bersama-sama. Tepat ketika langit yang muram begitu tegas mencegah hadirnya sandyakala.
Aku tenggelam dalam berita-berita yang keganasannya mengalahkan taifun paling berbahaya. Aliran darahku bergolak semacam muka kawah candradimuka. Mendidih. Meninggalkan sayatan luka perih. Di dinding hati yang kehabisan maklum. Saat orang-orang pintar negeri ini berubah menjadi ahli nujum.
Bagiku, yang kehilangan kata-kata di tengah ketidakhadiran sandyakala, selain Tuhan, hujan adalah tempatku melansir pertanyaan demi pertanyaan. Dan aku tidak butuh jawaban. Karena setiap kali muncul jawaban, para petinggi negeri ini menjadikannya bahan pertengkaran.
Aku sama sekali tidak butuh mendengar itu semua. Cukuplah aku kehilangan kata-kata saja. Tanpa harus makan malam berita-berita yang mengatakan tentang lebar kain kafan, lubang galian makam, dan kepedihan yang terus saja diperdagangkan.
Hentikan! Lebih baik dengarkan saja cerita tentang manisnya hujan!
Bogor, 4 April 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H