Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Puisi | Paradoksal Gua dan Dunia Maya

Diperbarui: 16 Maret 2020   20:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pexels.com

Semua bukan kebetulan yang jenaka. Terbitnya pagi didahului oleh kekeh tawa ayam jantan yang memecah kesunyian. Berulang-ulang. Mengabarkan kepada siapa saja. Tentang cara terjaga, yang tidak merusak persendian dan mata.

Seperti sebuah sinetron tak berujung pangkal, yang tiba-tiba saja menggeser kolom-kolom berita olahraga, kabar-kabar yang dinyanyikan burung lantas menjadi tajuk utama. Bumi dinyatakan sudah terlalu tua, untuk menyangga sedemikian banyak kaki, dan juga hati yang mudah sekali patah hati.

Pada setiap kekacauan dan rencana genosida, mesiu dan virus dilepaskan ke udara. Menyebar ke delapan arah mata angin. Mematikan segenap adrenalin. Dengan cara menikam peradaban. Lalu lupa bagaimana cara memakamkan.

Dunia yang sudah sesempit kuburan, ditimbuni oleh teknologi dan perabotan. Manusia-manusia sesak nafas bukan oleh sebab udara menipis, namun karena setiap inchi jantungnya sengaja diris-iris. Setiap hari. Menggunakan belati yang ditajamkan koran-koran dan televisi.

Apabila ada jajak pendapat pada detik ini, pithecanthropus erectus ternyata jauh lebih bahagia karena hidup di gua, dibanding manusia masa kini yang hidup di kota namun setiap harinya bermatian dibunuhi oleh dunia maya.

Bogor, 16 Maret 2020




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline