Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Kabut dan Hujan di Kota yang Lupa Cara Berdandan

Diperbarui: 25 Februari 2020   02:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://images.pexels.com

Bisa juga kota ini berkabut. Terus terang aku terkejut. Aku khawatir kabut ini hanya semacam pertunjukan fiksi yang menandakan film telah dimulai. Dan nanti, saat lampu-lampu dinyalakan, tak tahunya hanya semacam kumpulan asap knalpot yang diludahi.

Tapi, aku benar-benar melihat kabut. Menuruni pinggang menara seolah liukan lemas anakonda. Di sebuah belantara yang di dalamnya ditanami begitu banyak batu bata. Kabut itu melemah sebelum sampai permukaan. Entah kenapa, namun sepertinya terhalang kabel-kabel yang bersliweran, kotak sabun berserakan, dan harapan yang semakin berantakan.

Dan hujan datang seperti derap pasukan terakota. Menabuh genderang sekeras-kerasnya. Berniat membangunkan sebanyak-banyaknya orang. Untuk menyaksikan kota yang hujannya kepagian.

Setelah beberapa jam berlalu. Hujan belum juga menjadi masa lalu. Tak lagi deras. Namun tetap saja menyisakan segunung rasa cemas. Bagi mereka yang berada di bantaran kali. Bagi mereka yang sejam saja lagi berkubang di genangan lebih tinggi dari mata kaki.

Kota ini selalu mengajak bermusuhan musim penghujan. Katanya, pada musim seperti ini, kecantikannya luntur seperti wajah pengantin yang lupa didandani. Kusam dan was-was. Muram dan cemas. Ketakutan akan liputan kamera stasiun tivi. Yang dalam komentarnya pasti menyatakan; sudah saatnya kota ini pensiun dini, atau mungkin lebih baik jika segera saja bunuh diri.

Jakarta, 25 Februari 2020




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline