Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Puisi | Rezim Hujan

Diperbarui: 23 Februari 2020   19:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pexels.com

Manakala hujan dijadikan rezim yang mengibaratkan setiap bulirnya sebagai perkara horor yang mencekam hati, kau pasti akan segera merindukan kemarau lebih dari sebelumnya. Bagimu kekeringan mungkin lebih masuk akal, dibanding berkubang genangan yang merupakan tumbal dari kenangan yang gagal.

Dan itu bukan delik perkara biasa.

Kau sama sekali tidak boleh menyalahkan hujan hanya karena pelupuk matamu membasah. Bisa jadi kau sedang meratapi sepi, mencoba membunuhnya, tapi tak berhasil karena kau terlalu sentimentil.

Bukan juga gerimis yang mesti kau jadikan kambing hitam. Gerimis sama sekali tidak bisa diternakkan. Ia hidup di ranch maha luas yang tak terjangkau pikiranmu. Lagipula perumpamaan kambing itu salah besar. Seharusnya kau menyalahkan gagak hitam. Sebuah simbol kematian. Apakah itu sepotong kecil ruh, atau harapan yang runtuh.

Ini memang bukan perkara yang mudah usai. Apalagi jika kemudian berurusan dengan lidah badai.

Tapi setidaknya kau tahu bahwa rezim hujan itu tak pernah ada. Sebuah paham ala kadarnya yang sengaja diproklamirkan oleh orang-orang yang menghentikan asa. Bahkan sebelum sempat menaiki tangga kereta.

Jakarta, 23 Februari 2020




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline