Seperti juga
ketika hari selalu, berganti raut muka
akupun mendaur ulang sepi
menjadi sebuah puisi
yang liriknya diambil dari kerumunan
dan lariknya disusun dalam satu rangkaian
bait-bait yang kehilangan rindu
tapi menemukannya kembali
saat hujan berhenti
Meminum secangkir kopi
di sebuah kedai
yang pengunjungnya nyaris semua
patah hati
membuatku merasa nyaman
karena aku bisa
menceramahi mereka
tanpa mesti bicara agama
karena aku hanya pernah membacanya
sampai di bab-bab pertama
Mungkin aku bisa mentraktir mereka
segelas teh pahit
dan sepotong roti tawar
bertabur gula
supaya mereka bisa membedakan
mana sakit yang sesungguhnya
dan apa manis yang sebenarnya
tanpa harus tertipu
iklan-iklan penumbuh rambut
di saat sangat memerlukan isi kepala
Atau bisa saja aku mengajak mereka
berbincang tentang harapan
yang tertinggal di peron stasiun
di bangku-bangku panjang
tempat pantat berganti
ratusan kali sehari
sehingga mau tak mau
harus membuat formula yang tepat
agar harapannya tak mampat
atau dikirimkan salah alamat
Bogor, 23 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H