Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Puisi | Kota Muram, Tenggelam, tapi Tak Mati

Diperbarui: 9 Februari 2020   00:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pexels.com

Kota muram. Dipandang dari sudut manapun dari tatapan mata yang suram. Udara tenggelam di bawah kaki yang berlarian. Mengejar kereta, dikejar hujan, dan berkejaran dengan kecemasan.

Stasiun dan ruang tunggunya, menjelma menjadi paduan suara. Lagu-lagu yang dinyanyikan terdengar sengsara. Ini belum lagi senja, tapi wajah sandyakala nampak muncul di mana-mana.

Bus kota dan haltenya, seriuh kepundan kawah yang runtuh. Mengirim ledakan demi ledakan, ketika kemarahan menumpahi ujung sepatu dan celana. Mulut-mulut kaku, mata-mata gagu, berbicara tanpa sedikitpun kata-kata. Percakapan yang ada, adalah desir angin yang tertunda.

Jalanan dan lampu merahnya, berada dalam ceruk yang sama namun enggan bertemu muka. Masing-masing memperhatikan kekacauan sedang berlalu-lalang. Menyeberangi jembatan, melompati genangan, sembari menghindar dari cipratan kenangan.

Orang-orang dan gaya tubuhnya, berduyun-duyun seperti ikan sardin digiring lumba-lumba. Terhuyung-huyung kesana kemari. Seolah sedang menari. Namun tanpa tetabuhan sama sekali.

Kota tenggelam. Di kubangan keringat yang tertumpah-tumpah. Bercampur air hujan yang melimpah ruah.

Malam ini, kota ini mungkin tertidur tanpa alas kaki. Semuanya basah kuyup. Direndam lautan rasa gugup.

Tapi kota ini takkan mati. Ia punya nyawa ribuan peti.

Jakarta, 5 Februari 2020




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline