Surat kabar hari ini. Halaman depannya cuma berisi kolom obituari. Kamu, memasangnya di sana, sebagai pengumuman, bahwa kamu telah menyudahi mimpi. Saya membacanya tidak dengan seksama. Karena saya pikir itu cukup mengada-ada.
Mimpi, sengaja ada, sebagai pengganti benak yang tersandera. Kamu, adalah tawanan yang tak boleh menawar. Oleh berbagai perihal, seperti cuaca yang mencegahmu pergi ke pasar, atau hujan yang malah membuatmu tergesa-gesa membuat gorengan.
Di beranda, kamu sudah menyiapkan segelas teh hangat. Kamu mengira ada seseorang atau sesuatu yang akan bertamu. Seseorang itu barangkali saya, sesuatu itu jelas puisi saya. Sementara pagi bahkan belum tiba, kita sudah bercakap-cakap seolah ini senja.
Pembicaraan kita, direkam oleh angan-angan, lantas kesimpulannya ditayangkan dalam khayalan. Kita sedang membuat film dokumenter yang cukup imajiner, tanpa iklan. Malam nanti, kita akan menikmati popcorn yang belum cukup matang, sembari menanti mimpi macam apa yang berani datang.
Saya pamit pulang. Kamu memberi bekal saya beberapa potong kata yang mirip sekali dengan kuliah sastra. Saya menyimpannya dalam hati, tapi tidak cukup yakin akan saya apakan nanti.
Mungkin sebaiknya saya merangkainya dalam sajak-sajak yang beranak pinak. Tentang cinta yang terus mereproduksi dirinya sendiri.
Dan saya akan membacanya di kedalaman mimpi. Di hadapanmu yang telah menyiapkan kembali halaman obituari.
Bogor, 2 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H