Puisi ini puisi yang hanya dipunyai oleh malam yang mengatupkan mata setengah membuta di antara sekian banyak gelap yang dimilikinya. Mengiringi kantuk orang-orang, mengarungi telaga yang dinamakan kesunyian, dan mengurangi bising percakapan yang terdengar asing di telinga para pemburu bayangan rembulan.
Narasi ini narasi yang dirangkai oleh permulaan dinihari yang menyerupai pidato panjang para pencari cinta yang menunggalkan asa di majemuknya mimpi, meninggalkan beberapa kericuhan yang masih mencengkeram urat nadi, dan menanggalkan beberapa keinginan yang bisa menyebabkan kerumitan hati.
Dari setiap bayangan cahaya lintang yang timbul tenggelam karena mendung terlalu sibuk berlalu-lalang, masih ada sedikit serpihan yang bisa didulang. Ditampung dengan sebaik-baiknya cara agar tak menghilang di antara riuh bisikan yang digumamkan semak ilalang. Jalan setapak gampang sekali bersemak. Akan mudah sekali kehilangan jejak saat hendak menuju tempat perbaikan kenangan yang terlanjur rusak.
Langit kemudian menjadi filosofi yang dipelajari bagaimana menghindari rasa lebam atas kejatuhan dari tempat yang demikian tinggi. Lihatlah bagaimana hujan terhempas dari ketinggian namun justru mengaransemen irama kebebasan yang direkam oleh nada-nadanya saat pecah di bebatuan. Menciptakan denting melodi yang terdengar begitu tenteram, serta dentang langgam yang menguar dalam hitamnya temaram yang sama sekali tidak menunjukkan lirik muram.
Itu semua ada di kedalaman hati. Ketika puisi malam dituliskan dalam bentuk narasi hujan yang menyirami tumbuhnya filosofi dari langit yang tak mau lagi menyaksikan atraksi orang-orang patah hati.
Walau jatuh cinta memang tidak pernah ditakdirkan terjadi berkali-kali.
Bogor, 2 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H