Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Cerpen | Menara Saidah

Diperbarui: 22 Januari 2020   02:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto via indozone.id

Mang Umang, penjaja nasi goreng yang biasa mangkal di Pancoran mendadak menghentikan dorongan pada gerobaknya. Matanya sempat menangkap sesosok bayangan di trotoar yang biasa dia lewati. Jantungnya nyaris berhenti. Saat ini dia tepat berada di pinggiran jalan yang sangat sepi.

Satu dari sedikit pinggiran jalan protokol di Jakarta yang jarang sekali dilalui orang di malam hari. Kalaupun ada, pasti bergerombol atau setidaknya setengah berlari. Pinggiran jalan yang menyajikan rasa ngeri. Pinggir jalan di depan Menara Saidah.

Sembari berusaha mengatur irama degup jantungnya yang tidak teratur. Mang Umang coba menajamkan penglihatannya. Bayangan itu seperti melayang memasuki lubang pagar seng koyak yang mengelilingi Menara Saidah. Menghilang begitu saja. Mang Umang bergidik.

Baru kali ini mamang tua penjual nasi goreng yang sudah bertahun-tahun mengadu nasib di ibukota, menemui kejadian aneh ini. Biasanya dia memang melewati depan Menara Saidah saat sore hari. Namun malam ini dia terpaksa lewat setelah jam 11 malam. Banyak sekali orang yang mencegatnya untuk membeli nasi dan mie goreng di gang depan rumahnya tadi.

Musim hujan dan udara dingin membuat dagangannya laku keras. Sekarang bahkan tinggal seperempatnya saja. Mang Umang sengaja tetap menuju ke tempat mangkalnya di sudut Pancoran. Banyak pelanggannya yang pekerja bangunan ada di sana. Menunggunya.

Bulu tengkuk Mang Umang meremang hebat saat tubuh tuanya diberanikan untuk terus melangkah. ini belum setengah perjalanan melewati Menara Saidah. Lubang yang dilewati bayangan tadi masih sekitar 20 meteran lagi. Mang Umang membaca doa apa saja sejadi-jadinya.

Mungkin karena gerimis, tidak terlihat sama sekali orang lewat di sekitar sini. Mang Umang sendirian menempuh wilayah menakutkan yang seringkali menjadi kisah urban legend itu.

Mang Umang bernafas lega. Nampak trotoar panjang di hadapannya terang benderang. Entah cahaya lampu darimana tapi Mang Umang senang. Dia tidak sendirian lagi.

Bahkan dari tempatnya sekarang Mang Umang mulai mendengar suara keramaian. Saking senangnya Mang Umang tidak peduli cahaya terang benderang itu berasal dari mana dan suara-suara itupun bersumber dari mana.

"Mang, nasi goreng dua ya? Pake piring aja jangan dibungkus," terdengar suara lembut tiba-tiba menyapa Mang Umang.

Mang Umang menoleh. Seorang perempuan cantik berbaju kantoran tersenyum ke arahnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline