Aku berada di tengah-tengah hilir mudik berita yang kehilangan kata-kata. Menatap langit yang mendung, dan berkabung di atas bumi yang nampak semakin murung. Hari ketika wajah almanak berganti, diawali dengan beberapa kabar obituari.
Orang-orang dihanyutkan kematian di sungai-sungai yang meluapkan kemarahan. Meninggalkan jejak-jejak pemakaman tanpa batu nisan. Labirin takdir bekerja. Dengan pintu keluar terbuka di tempat yang tak terduga.
Cuaca sesungguhnya baik-baik saja. Hujan tetap datang dengan kasih sayang. Namun bumi sudah terlanjur terluka parah. Berdarah dan bernanah. Koyak moyak dari lutut hingga pundak. Sampai-sampai sulit sekali berdiri tegak.
Aku memandangi mosaik pecah berantakan di mana-mana. Melihat langit bermuram durja. Menyaksikan bumi kehabisan bebat bagi lukanya yang menganga. Seolah-olah dunia telah kehabisan cinta.
Orang-orang termangu dalam kesadaran yang gagu. Ternyata Januari dimulai dengan rasa ngilu. Setelah ribuan kembang api meledakkan bising di udara yang mengering. Dan semarak pesta berakhir di ujung hari yang mendadak genting.
Ini bukan tentang waktu. Tapi aku berbicara mengenai hilangnya kosakata rindu. Di kamus-kamus yang menerjemahkan bahasa langit kepada bumi yang menjadikannya rahim hujan. Bahwa cukup dengan koyakan kecil, air bah akan sangat mudah dilahirkan.
Bogor, 2 Januari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H