Airmatamu jatuh secara ritmis di sela-sela nyanyian gerimis. Ini seperti paradoksal antara kepedihan dan kegembiraan. Ketika kemarau dan hujan mengadakan pertemuan. Di pertengahan musim pancaroba. Di suatu malam yang nyaris kehilangan purnama.
Ratapanmu terdengar hingga negeri yang sedih. Setelah kehabisan cara menumbuhkan bunga. Di tanah-tanah yang lumpuh. Dan hanya mampu menyiarkan kabar obituari. Setiap hari. Tentang pohon-pohon tumbang dan mati.
Mendung yang menggelayuti hatimu seperti sketsa airmata di pipi yang tak memakai perona. Menjadi mosaik langit yang nampak begitu sakit. Dengan warna-warna kelabu beterbangan. Seolah hari telah kehabisan cinta. Seolah tulisan romantika yang tak bisa selesai karena kehabisan tinta.
Di ambang petang. Di beranda hujan. Di tengah cuaca yang gamang. Aku menghiburmu. Dengan lagu-lagu sendu yang diaransemen oleh masa lalu. Menarilah bersama rintiknya yang tiba satu persatu. Sebelum masa lalu itu terlanjur dibekukan waktu.
Ini memang bukan hari yang ceria. Tapi setidaknya masih ada sebuah cerita. Bukan tentang hikayat airmata. Namun tentang replika bahagia, yang berhasil disusun dari legenda kisah cinta seorang Rahwana.
Bogor, 20 Desember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H