Ibu, aku menitipkan rindu
lewat hujan yang jatuh dari awan pertama
di bulan penghujung almanak
untuk pusaramu, yang pasti diselimuti debu
Sekarang, aku belum bisa datang
jalanan masih banyak tergenang
separuhnya oleh hujan
separuhnya lagi dari langit yang cahayanya nyaris padam
tapi, aku selalu sanggup memelihara kenangan
membesarkannya di ruang-ruang kepala
lalu tumbuh di hati menjadi dewasa
tentangmu yang dulu pernah menimangku
di bawah bayangan rembulan, cita-cita besar, dan redupnya lampu kamar
Ibu, selain rindu, aku menitipkan sebuah fragmen doa
melalui wajah purnama, di malam yang penuh sesak
oleh bintang-bintang yang tersembunyi
dan gugusan rasi yang melarikan diri
agar tak dinamai sebagai ramalan masa depan
atas nama beberapa teguk filosofi
Doa ini, tidak panjang
aku tidak mahir melakukannya
sebab aku masih saja pandir
seperti dahulu
ketika kau menatapku dengan haru
saat aku pulang sekolah tanpa mengenakan sepatu
aku bilang, aku iba, lalu menyerahkannya pada setangkai bunga
agar dia tepat seperti namanya
padahal, aku menghanyutkannya di sungai Kalibaru
tanpa sengaja
setelah aku menenggelamkan diri
dalam hura-hura kanak-kanak yang ingin tahu
seperti apa memulai perjalanan
kemudian, kesulitan mencari cara menghentikan
Ibu, jika rindu ini sampai padamu
aku berharap kau sedang menghirup kopi kesukaanmu
sambil menikmati tembang Jawa
di beranda surga
tempat yang aku minta
setiap kali aku bersimpuh, kepadaNya
Bogor, 16 Desember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H