Aku mendengar semua kata-katamu, yang gaduhnya seperti led zeppelin saat menyanyikan lagu melayu. Hanya saja kau perlu tahu, aku tidak menggunakan gendang telinga untuk menyerap semua ucapanmu yang setajam paku. Aku lebih memilih memakai rasa, yang ada jauh di kedalaman jiwa.
Aku rasa aku sedikit menyukai caramu mengirimkan pesan. Tidak lewat rembulan, tapi menggunakan rasi paling kelam. Tidak melalui sentuhan hangat jemari matahari, namun lewat jilatan lidah gunung api.
Bahkan setelah berulang membacanya, aku pikir aku menjadi sangat menyukainya. Seperti aku menyukai hutan yang nampak garang meski sesungguhnya sama sekali tidak jalang. Seperti aku menyukai lautan yang tak jarang menyeringaikan badai walau sebenarnya gelombangnya selembut nyanyian murai.
Aku harus berterimakasih kepadamu yang mengirimkan nawala tanpa disertai utusan. Bagiku ini adalah kegilaan yang menyenangkan. Aku curiga kamu tahu aku adalah lelaki yang menyimpan kewarasan hanya saat waktu memasuki tengah malam. Entah bagaimana caranya, tapi kamu berhasil mengajakku menelan purnama, saat ini juga.
Jakarta, 29 November 2019
Untuk Nonaa Edan yang sesungguhnya sangat waras
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H