Di sumbu khatulistiwa, hujan yang tiba laksana percikan air terpeleset dari surga. Pohon-pohon meranggas, hati terkelupas, dan jiwa-jiwa yang mengeras, melepas masa berkabung, lalu berkubang dalam sisa-sisa mendung.
Di setiap rintik yang menjatuhinya, dahan dan daun bersama-sama menjura. Menyampaikan kasih dengan cara-cara yang dilakukan nyanyian terhadap pita suara.
Di setiap irama yang mengaransemen keajaiban orkestra, tanah dan rasa gelisah bersama-sama menundukkan kepala. Mengisyaratkan taklimat menggunakan cara-cara hikmat yang dilakukan sajak-sajak terhadap rimanya.
Di setiap sungai-sungai yang kembali mengalirkan ritme melodi, tebing dan muara bersama-sama menyingkirkan sarkasme terhadap keinginan harakiri. Dengan menambahkan nada staccato untuk memutus habis rangkaian sepi. Juga menyisipkan legato agar dunia terus saja bertindak sebagai penyembuh patah hati.
Di sumbu khatulistiwa, malam menjalankan rencana untuk menidurkan anak-anaknya. Lebih cepat dari jadwal biasa. Agar bisa terjaga saat dinihari mulai melata. Kemudian membasuh muka untuk menghilangkan segenap mimpi buruk. Atas segala realita teruk yang telah habis-habisan dirutuk.
Kembali kosong. Masuk ke dalam keheningan yang serupa di dalam kepompong. Membisikkan kebenaran. Dari semua kabar bohong yang menyakiti kenyataan.
Pontianak, 15 Nopember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H