Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Koreografi Sepi

Diperbarui: 8 November 2019   04:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Sementara malam sedang tertatih menaiki tangga menuju dinihari yang siap menjamunya dengan puncak rasa sunyi, semakin dalam pula aku tenggelam pada lamunan yang kehilangan berahi.

Aku kesulitan memejamkan mata, membuka jendela, dan menyaksikan kota yang sedang tertidur dengan gagap, lelah bersandar pada bahu dunia di sekitarnya yang menggelap.

Aku melihat kerlip cahaya di mana-mana. Di jalanan besar yang menganga, menara-menara raksasa, juga di langit yang kehilangan purnama namun memajang puluhan rasi bintang di ceruk wajahnya.

Malam sedang disepuh tinta hitam namun penuh dengan noktah cahaya. Aku rasa.

Mungkin aku harus menyeduh secawan kopi untuk melawan kantuk yang mulai menerjang iris mata. Tapi aku tak bisa. Aku tak punya sisa air hujan, juga kehabisan pemantik api dari kemarau yang berkepanjangan. Aku sepertinya ditinggalkan cuaca. Hening dan hampa.

Atau barangkali aku mengada-ada. Hujan tak pernah benar-benar pergi, dan kemarau selalu saja menyisakan setitik api.

Barangkali aku hanya sedang menari. Membenamkan diri pada koreografi sepi.

Jakarta, 8 Nopember 2019




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline