Sebuah mimpi, yang terlahir dari ibunda dinihari, mengumumkan dirinya sebagai harapan, begitu disentuh cahaya pertama matahari yang menyingsing di balik pegunungan. Mimpi anak-anak gunung tentang hutan yang kanopinya tetap berantakan. Dengan serasah yang membukit di lantai-lantainya yang hitam.
Bukan sebuah mimpi buruk tentang hutan yang kanopinya dibuat semanis taman. Dengan lantai licin setelah dicuci habis-habisan menggunakan mesin dan segala macam merk cairan.
Sebuah mimpi, yang berkerabat dengan cangkang kecomang, menyatakan dirinya sebagai asa, begitu dijilat lidah gelombang di sebuah pesisir yang lengang. Mimpi anak-anak pantai tentang lautan yang ditumbuhi terumbu karang. Dan menyebut sebuah kata pulang bagi ikan dan penyu yang datang.
Bukan sebuah mimpi yang patah hati ketika lautan membadaikan dirinya sendiri. Dalam sebuah ritual bunuh diri. Ketika tubuh dan hatinya rusak disayat-sayat polusi.
Sebuah mimpi, hadir di stasiun, terminal dan jalanan, mengaku dirinya sebagai sepotong cermin bercahaya, begitu tenggelam di antara kerimbunan menara kaca. Dengan gang-gang sempit yang nampak berbahagia. Itulah mimpi anak-anak kota tentang peradaban yang tak tunggang langgang berlarian. Namun berjalan bersama bersisian.
Bukan sebuah mimpi tentang kota yang etalasenya berisi air mineral dan gula-gula, namun ternyata mengunci pintunya tanpa memberi kesempatan satu orangpun yang kehausan dan kehabisan tenaga untuk melakukan tawar menawar harga.
Jakarta, 6 Nopember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H