Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Tajuk Rencana

Diperbarui: 1 November 2019   08:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Saya terjaga dengan raut muka lebih gulita dari malam yang paling buta. Jendela kamar saya terbuka, angin masuk, hingga mimpi-mimpi lepas beterbangan, padahal saya sedang berusaha keras menyusunnya dalam album kenangan.

Saya tersenyum. Mungkin beginilah rasanya bermain-main dengan pendulum. Mencoba mengelabuhi waktu, namun ternyata justru berlabuh di batu-batu.

Batu yang diselimuti lumut. Licin dan berkabut. Simbol dari skenario cinta yang kalang kabut. Dari Romeo dan Julia di Italia, hingga Sam Pek dan Eng Tay dari Cina. Bagaimana mereka membiarkan jantungnya dihunjam ujung kematian. Lalu merelakan kisahnya dimakamkan dalam keabadian.

Saya menutup senyuman. Lantas membuka gerutuan. Manakala sisa-sisa cahaya rembulan yang tercecer di tepian langit, mendadak menjelma jadi rasa sakit. Mewujud dalam bentuk onak dan duri. Sangat melukai.

Saya tak mau berkabung dalam duka. Saya memilih berkubang dalam genangan tawa. Mentertawakan hujan yang datang salah alamat. Di tempat orang-orang yang hatinya sedang tercekat. Akibat berselisih terlalu lama. Dengan angka-angka dalam usia.

Sembari terus menerbitkan tanya. Di tajuk rencana halaman muka.

Di koran-koran bekas. Juga linimasa yang tak punya tapal batas.

Bogor, 1 Nopember 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline