Saya rasa, tidak ada cara lebih tepat untuk memanjakan mata selain mencumbukan irisnya dengan bibir senja. Ada gairah yang tak lekang di sana. Menumbuhi ufuk. Menyamarkan sekian banyak perkara buruk.
Saya juga berpikir, alangkah baiknya berdamai dengan badai. Mungkin akan timbul kekacauan. Namun sesudahnya saya sadar bahwa tidak ada satupun yang boleh dianggap usai. Kecuali jika itu mengenai perselisihan dengan rembulan.
Tentang perjalanan purnama. Akan selalu tepat pada almanaknya. Tak bergeser sedikitpun. Walaupun saat ini waktu habis-habisan dilanun.
Saya pernah berseteru dengan waktu. Mengenai kematian kupu-kupu. Kecantikan yang begitu cepat menghilang. Sementara keburukan berusia lebih panjang. Dengan segala tingkah polahnya yang jalang.
Pada almanak purnama saya percaya. Cinta itu datang bersama kedatangan cahaya. Di kegelapan hanya tersedia rahasia. Jarang terbuka selayaknya puncak misteri kotak pandora.
Pada almanak purnama pula saya meyakini. Bahwa malam sebenarnya adalah kotak penyimpanan. Dari sekian banyak kenangan yang bergelimpangan. Baik yang akhirnya bersua. Maupun yang pada kesudahannya terperangkap dalam lupa.
Jakarta, 29 Oktober 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H