Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Tanah-tanah

Diperbarui: 2 Oktober 2019   08:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Sebuah pagi yang berlagak romantis. Ketika pokok cemara merayu tanah yang menumbuhkannya, dengan menjatuhkan ruas-ruas jari, sembari berkata setengah berbisik; kau kekasih yang aku yakin tak akan pernah melepaskanku hingga mati. Di dalam ruang-ruangmu yang menyediakan pelukan terhangat, aku lekat.

Sepotong bunga kamboja, sempat melayang di udara. Sebelum terjatuh tanpa suara, di permukaan tanah yang selalu menerimanya tanpa banyak tanya; Siapa anda, mengapa, dan berapa?

Langit membara dengan semenjana. Menyentuh daun-daun hijau yang secepat kilat menyambar ulurannya. Menyesapnya dengan hikmat. Hingga buku-buku akar menggeliat. Di sebuah rumah yang disediakan tanah secara cuma-cuma. Sampai kelak tubuhnya tinggal kerangka.

Sungai-sungai kecil mengaliri potongan pematang baru jadi. Di hadapan para petani yang membersihkan cangkul basah dari remah-remah tanah. Sembari menembangkan lagu-lagu zaman dahulu yang bercerita tentang dewi kesuburan. Sosok tak kasat mata yang sanggup mendermakan asa tidak dengan cara berlebihan.

Orang-orang memulai kisahnya masing-masing. Berjalan dalam hening. Mencari-cari percakapan di tanah-tanah yang kering. Tentang hujan yang tak lagi patah hati. Mengajak bercengkrama hingga terbitnya dinihari.

Barangkali ini semua memang bahagia. Sangat sederhana. Tidak sempurna. Tapi bukan mengada-ada.

Bogor, 2 Oktober 2019




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline