Sudah cukup lama rupanya. Membiarkan senja itu terus-terusan tinggal di cekungan hati. Aku berharap itu semua segera digantikan pagi. Supaya asa kembali terbit di retina mata sebelah kiri.
Di bagian kanan tidak diperkenankan. Di situ letak kenyataan. Coba perhatikan saat pupilnya mengerjapkan sisa hujan. Berjatuhanlah segala rupa amanat, riwayat-riwayat yang tersesat, juga raut muka sembab akibat lidah yang fasih mengumpat-umpat.
Amanat untuk mengerti bahwa musim pasti berganti. Di dalamnya banyak narasi tentang kemarau yang kehabisan matahari, hujan yang kehilangan awan, serta kericuhan yang ditimbulkan oleh kesalahpahaman memahami sebuah ketetapan. Mengenai cuaca yang berkelindan.
Riwayat itu dituliskan bukan dibacakan. Buku-buku itu dijilidkan bukan dijahitkan. Halaman demi halaman adalah segmen yang berjalan, bukan fragmen yang diada-adakan. Wajar saja jika tersesat karena salah alamat. Namun menjadi vulgar bila tersesat karena kompas dalam pikiran ternyata sungguh-sungguh mampat.
Lidah adalah mahkota sesungguhnya dari isi kepala. Dalam hal berkata-kata, lidah adalah raja, sekaligus juga sahaya. Menjadi raja ketika frasanya kemudian bersabda, menjadi sahaya saat umpatan demi umpatan meluncur keluar jendela.
Semuanya cukup sampai di sini. Biarlah senja mengambil keputusan sendiri. Apakah akan tetap tinggal di ruang hati, lalu berfilosofi sebagai pagi. Atau pagi justru berubah begitu kelabu, sehingga aku tak perlu lagi bergaduh dengan waktu.
Jakarta, 8 September 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H