Saya menggambar ulang kenangan di kanvas ingatan supaya kembali jelas sehingga saya tidak lagi mengira-ngira di mana letak buruk dan baiknya. Pensil yang saya gunakan terbuat dari lidi daun kelapa. Saya raut dan tajamkan memakai sisa-sisa badai di pantai. Harapan saya menggurat kanvasnya semudah menyusuri dataran landai.
Ternyata tak mudah menggambar ulang. Sebagian nampak terlalu samar dan begitu lekang. Hanya terlihat seperti langit yang memudar. Persis seperti saat remang petang telah mulai melepaskan cadar.
Saya sepertinya perlu bantuan sebisanya. Dari percikan masa yang apinya masih menyala. Barangkali itu akan mempermudah kerja hati. Karena menggali-gali itu sungguh perbuatan yang membutuhkan sebesar-besarnya nyali.
Satu coretan pertama, saya langsung terluka. Ah mungkin ini gara-gara dulu saya pernah kejatuhan gerhana. Tepat ketika saya sedang membutuhkan purnama. Atau mungkin juga karena dulu ada satu peristiwa yang pernah menjajah saya menjadi koloni. Atas nama imperialisme hati.
Di coretan kedua, saya mulai baik-baik saja. Nampak berbagai sketsa yang masing-masing bercerita dengan sendirinya. Tentang kekacauan rencana, kecemasan usia, hingga pencarian yang diharapkan segera paripurna.
Pada coretan selanjutnya, saya sudah menyerupai pertapa. Bersedekap menunggu lukisan itu sempurna. Sembari mentertawakan lelucon masa lalu. Bagaimana saya terlalu banyak menyedekahkan sembilu. Kepada waktu.
Padahal waktu, tak perlu apapun agar terus memutar angka. Apalagi jika hanya untuk tawar menawar kapan bahagia akan tiba. Karena jelas sekali kalau semua itu sungguh-sungguh rahasia.
Jakarta, 27 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H