Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Pada Sebuah Malam yang Tak Lagi Buta

Diperbarui: 24 Agustus 2019   01:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Bagi seorang pejalan, jalanan adalah rumah tempatnya menata perabotan. Meja dan kursinya adalah trotoar dan potongan dahan akasia. Sudut-sudut kota adalah halaman belakang. Sedangkan halte dan stasiun adalah potongan besar pintu gerbang.

Dia melangkahkan kaki. Sekaligus hati. Menghitung seberapa luasnya dunia. Untuk mendapati betapa sempitnya lini masa.

Bagi seorang petualang, ngarai dan gunung adalah tempatnya menyusun ranjang. Memejamkan segenap gaduh, dalam tidur beralaskan sunyi yang runtuh. Sedikit temaram yang menjatuhi pojokan ruang. Adalah cahaya rembulan yang nyaris saja padam.

Dia bahagia. Sekaligus juga berbela sungkawa. Langit di atas sana nampak murung. Seperti seorang dara yang menunggu pinangan namun sang kekasih urung berkunjung. Dan itu semua karena hujan yang tak mau lagi berdansa. Sebelum musik dan doa-doa dilantunkan bersama-sama.

Bagi seorang pemimpi. Dinihari adalah panggung terbesar yang dinanti. Banyak ruang-ruang lengang untuknya leluasa melempar selendang. Mengajak menari sekawanan kunang-kunang. Melantunkan tembang-tembang lawas. Tentang langit, bintang, dan sebuah kuasa yang tak terbatas.

Dia menyentuh lembut lantai dengan dahinya. Menjumput sedikit airmata dari retina. Lalu menjatuhkannya perlahan dengan sengaja. Membentuk sungai-sungai kecil yang mengalirkan kerinduan akan Tuhannya.

Bogor, 24 Agustus 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline