Saya berusaha keras mengingat, semenjak kapan pagi terasa begitu penat dan menyiksa. Angin yang memaksa menerobos jendela, serasa ribuan ujung jarum kecil yang tak nampak wujudnya. Suara merdu burung yang menyusupi gendang telinga, tak tahunya hanya siaran radio yang terbata-bata dan entah darimana datangnya. Duh Gusti Ingkang Murbeng Dumadi, apakah ini yang dinamakan pinggiran rasa sepi?
Mungkin saya sedang merasakan rasa sakit yang teramat garang. Melalui malam-malam yang gamang, bermimpi buruk tentang langit yang mendadak hilang, lalu terbangun tiba-tiba dengan leher serasa tercekik tulang. Sadar atuh Mang, sing enggal damang.
Minreng ka iya pada idi. Saya tahu ini semua karena saya berhutang pada masa lalu. Lama saya meninggalkannya di laci yang berdebu. Berupa janin waktu yang seharusnya menjadi buku-buku. Tentang jejak-jejak sejarah yang meminta reinkarnasi. Juga romantika tak tuntas yang memohon jangan dikremasi. Masih ada kehendaknya yang belum menjadi kisah kasih. Terutama saat sang putri merintih pedih. Ketika tajam kujang menancap di hulu jantung. Menjadikannya romantisme yang gagal diarak dengan agung.
Barangkali lebih tepat jika saya memulai lagi. Entah darimana karena apa yang ada di kepala adalah patahan-patahan sunyi. Dari sekian inci pergerakan lempeng hati. Menimbulkan besaran magnitudo yang berbahaya. Bagi ingatan yang terus saja beranjak lupa. Jika masih ada janji yang mesti dilunasi. Sebelum permukaan bumi terbelah menganga. Menelan apa saja yang terlanjur dialpa.
Dan semua bukanlah salah siapa-siapa. Bukan musim hujan yang masih dalam perjalanan. Bukan musim kemarau yang enggan pulang. Bukan malam yang menggerutukan gelap yang membuta. Bukan pula matahari yang terlalu lama mendermakan bara. Tetap saja, mea culpa.
Jakarta, 22 Agustus 2019
Duh Gusti Ingkang Murbeng Dumadi; Tuhan yang Maha Kuasa
Sadar atuh Mang, sing enggal damang; sadarlah paman, cepatlah sembuh
Minreng ka iya pada idi; aku berhutang padamu
mea culpa; semua salah saya