Pernahkah kau melihat? Purnama sebesar limapuluh dua karat, mengetuk pintu rumahmu, meminta bertamu, hanya karena ingin menyampaikan pesan dari semesta, agar kau membuka lebar-lebar jendela. Ada kabar baik dari malam. Tentang pementasan pelik masa silam. Ditunda waktunya. Hingga pemberitahuan selanjutnya.
Setelah itu, kau dipersilahkan mematikan lampu. Dalam samar, kau menyaksikan langit-langit kamar. Memutar kilas balik masa. Ketika kau melakukan pencarian cinta, belajar tentang senja, dan meminta izin airmata, agar diperbolehkan menangisi koma.
Kau adalah makhluk yang cukup dungu, karena hanya diam termangu, ketika cinta bolak-balik berlalu, di depan teras rumahmu. Mungkin kau mengira itu iklan, tentang produk buruk yang masih dalam masa percobaan.
Di saat seharusnya kau menikmati senja, yang cukup lama singgah di beranda, kau malah tekun menyirami pot-pot bunga. Menurutmu pagi lebih berarti, jika menyambutmu terjaga dengan aroma melati. Daripada harus membukukan senja, yang tak akan pernah kau baca. Karena di setiap halamannya, hanya bicara mengenai runtuhnya usia.
Meski setelahnya kau terus saja meminang airmata, lalu memakunya di dinding tanpa pigura. Kau tetap berpikir, suatu ketika airmata itu akan menjadi mata air, bagi angsoka dan anyelir, yang kau tumbuhkan di keringnya padang pasir.
Dan akhirnya kau berserah pada banyaknya koma, setelah begitu lama tak juga berjumpa, dengan titik akhir, tempatmu semestinya bersua dengan syair-syair, yang memperbincangkan kebenaran takdir.
Kau memang berhak menangisinya. Namun sesungguhnya untuk apa. Karena bagaimanapun, kau tak bisa mengusirnya.
Kau hanya bisa mencatat. Di buku harian yang tak jua tamat. Sebagai cara paling hikmat. Untuk merawat ingat.
Bogor, 17 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H