Skenario demi skenario membabi buta berlepasan. Mengejar kemarau yang masih dipingit lautan. Sementara hujan telah lama dipinang pegunungan. Seorang wanita tersenyum lebih kelam dari malam. Hitam dan legam.
Baginya pagi adalah pecahan waktu yang menghamburkan duri, siang lebih mirip tungku yang membakar habis-habisan setiap mau, dan malam tak laiknya sekawanan serigala yang melolong-lolongkan puncak rasa jemu.
Pada sekeping harapan yang dihanyutkan bait-bait kecemasan, wanita itu menggenggam matahari di tangan kiri dan segulungan api di tangan kanan. Tak ada tempat lagi bagi percikan kegembiraan untuk dipegang. Semuanya nampak muram. Semuram pelaminan yang ditinggalkan sepi tanpa penghuni. Saat tamu-tamu mulai menghadirkan diri.
Seribu drama disusun baik-baik di etalase kaca. Berdampingan dengan buku-buku terbaru tentang ramalan cuaca. Semua menyatakan perkara yang sama. Ketidakpastian bertubuh utuh. Seutuh kegaduhan yang riuh ketika rasa percaya pada kota mulai luruh. Setelah sekian lama tinggal di dalamnya. Kemudian baru menyadari bahwa ternyata kota mudah saja mencabik-cabik rasa percaya.
Wanita itu memilih melemparkan dadu. Mempertaruhkan sisa hidupnya yang dibasuh sembilu. Terhadap nasib yang datang menyaru. Sebagai sosok takdir berkepala batu.
Jakarta, 12 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H