Kau melarikan diri dari rindu dengan cara membenturkan kesendirianmu pada tembok kamar yang dicat kelabu. Lalu lampu baca kau temaramkan supaya tak mengingatkanmu pada tumpukan buku-buku. Kau belum selesai membaca. Bab-bab yang bercerita tentang kerumitan drama di kepala.
Skenario demi skenario berlepasan seperti bintang jatuh di langit yang runtuh. Mendidihkan lautan yang semula teduh menjadi sedemikian gaduh. Kau berencana mementaskannya saat musim penghujan tiba. Hujan adalah saat terbaik untuk menyudahi airmata.
Walaupun kau tahu hujan juga mudah sekali menusuk-nusuk gendang telinga. Atas segala kenangan yang telah berpusara tapi kemudian dipaksa bersuara.
Kau memang pandai mengendarai badai dengan menumpang elang yang sedang bertikai. Di sayap-sayapnya yang kokoh terbentang, kau mengiris-iris udara, berusaha sekuat tenaga menyingkirkan kenangan yang meraksasa, sementara hatimu sedang mengecil sebesar biji kurma.
Di paruhnya yang tajam kau menggoreskan aksara di angkasa. Mengumumkan kehadiran cuaca yang baik-baik saja. Salah satu caramu mengelabuhi nestapa. Agar tak lagi hadir dengan duka cita. Sedangkan kau sedang menelisik keras di mana letak bahagia.
Begitulah seorang perempuan jika menundukkan airmata dengan cara mengasah tajam mata katana.
Bagi kata-kata bela sungkawa yang selalu dipenggalnya.
Bogor, 9 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H