Di suatu senja, di sebuah tempat yang pernah memperkenalkan aku dengan cemara yang kesepian, kamboja yang sendirian, dan angin dingin yang berjatuhan dari pegunungan, aku melukis langit yang dipenuhi suluran mega, namun tanpa tanda-tanda hujan akan tiba agar bisa menyeraki malam yang berbintang seadanya.
Ini adalah beranda tempat aku menjadi utusan kerajaan hati yang paling tersembunyi. Di sini aku bermimpi tanpa harus tertidur, mati tanpa harus gugur, dan menyepi tanpa mesti membaui aroma melati.
Manakala langit berubah pias lantas tergesa-gesa melenyap dalam kesenyapan tak berbekas, aku masih mengikat beranda ini dalam rangkaian kata yang enggan berhenti. Sebuah puisi, atau beberapa sajak yang membunuh dirinya sendiri. Dalam samarnya arti.
Kegelapan mulai menampakkan raut muka. Suara-suara menyusup masuk keliman kebaya merah tembaga yang dikenakan senja. Di sebuah tempat yang dinamakan beranda. Saat waktu mengakhiri puasa gagu. Melantunkan adzan di surau-surau yang mulai menyalakan lampu.
Bogor, 9 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H