Meretas kedalaman mata, untuk tahu di mana letak kerumitan di kepala. Seperti menyelami labirin berlapis-lapis. Di cuaca yang lupa mengutus gerimis. Untuk meredam rasa panas. Akibat terbakarnya tapal batas. Tempatmu berdamai dengan masa lalu. Dahulu.
Sinapsis otakmu bekerja terlalu keras. Sehingga kau tak tertawa, kala pagi melemparkan gurauan cerdas. Tentang matahari yang kedinginan, juga tentang kutub utara yang kepanasan.
Pada akhirnya, kau lebih diam dari arca. Mematung di hadapan orang-orang yang bertapa. Lalu mengajak moksa bersama-sama. Menuju semesta kedua. Tempat takdir bisa dijalankan. Dengan menggunakan buku panduan.
Menjadi angin. Adalah puncak mimpimu yang terdingin. Kau ingin pergi kemana-mana. Memunguti warna yang berbeda. Dari warna hatimu yang dikuasai hitam putih saja.
Menjadi hujan. Adalah hal yang paling tak kau inginkan. Kau tak mau menyebabkan tangis bagi orang-orang yang patah hati, setelah mendengar rinai hujan berhenti. Kau juga enggan bersalaman, dengan orang-orang yang melarung kenangan, di setiap derasnya hujan.
Barangkali, kau malah rela menjadi jembatan. Kau sangat menyukai pertemuan. Antara tebing dengan ngarai, antara hening dengan badai, juga antara senyum yang mengering dengan serpihan airmata yang tak lagi terpakai.
Jakarta, 6 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H