Bila malam ini aku mengajak kata-kata berdansa dalam tarian salsa, itu pertanda kau harus segera menyiapkan kacamata. Bukan berarti aku sedang dipasung kerinduan yang menggila. Aku hanya takut debu dari kata-kata itu merusak retina.
Kau tahu, mungkin kau mengenaliku sebagai lelaki yang suka menyabung rasa di kegelapan yang tak terlihat apa-apa. Semua seolah aku sangka begitu kentara. Sejujurnya, aku sama sekali tak mengerti apa-apa.
Namun aku bukan penyamun. Hatiku telah habis dilanun. Oleh lamunan yang terbengkalai. Saat sempat singgah di ketenangan mata badai.
Mungkin aku harus menembang lingsir wengi. Memanggil arwah masa lalu yang lama berada di peti mati. Terkubur di palung paling dalam. Tapi tidak di dasar lautan.
Mungkin aku bisa meminta tolong pada ilusi. Di mana letak berserakannya hati. Supaya bisa aku kumpulkan dalam satu perjanjian. Yang ditanda tangani oleh skenario kematian.
Tapi aku belum sepakat untuk mati. Aku ingin hidup sehari lagi. Agar sempat meniupkan ruh pada puisi. Tentang cahaya yang tiba tepat pada waktunya. Ketika semua sengketa telah menyatakan diri mereka saling jatuh cinta. Dan menyingkirkan semua permusuhan atas nama hati dan air mata.
Palangkaraya, 3 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H