Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Puisi | Kerumunan Lamunan

Diperbarui: 5 Juli 2019   04:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Di halaman depan Istana Maimun, selarik cahaya terakhir matahari tergelincir. Menerpa undak-undakan menuju beranda, menampilkan kilasan masa saat para putri Melayu masih berdiam di sana. Menari, jatuh hati, lalu menikahi para pangeran yang datang menunggang kuda sembari membawa upeti. Berupa kepingan hati.

Di halaman belakang Deli Serdang, selat Melaka menggantang sekian banyak awan. Menyimpan hujan untuk esok kelak. Ketika pantai mulai retak. Karena dibilas terlalu banyak air asin, yang jelas-jelas menyudahi ingin.

Di pinggiran Kualanamu, angin menyerupai diamnya batu-batu. Terpaku di senja yang padam. Menunggu lampu menyala. Agar kembali bisa menerangi ruang tamu. Menunggu kedatangan rindu.

Di pelataran malam yang kehabisan kunang-kunang, suara yang ada tak lebih ramai dari percakapan yang hilang. Senyap membiarkan dirinya terlelap. Di ujung pembaringan yang manusianya tak henti mengudap. Remah-remah pikiran yang lindap.

Di sela-sela lamunan yang membentuk semacam kerumunan, terjadi sedikit pertengkaran. Baku tentang apa yang harus dibuang, mana yang mesti dijelang. Antara kegagalan harapan yang menyuratkan ketakutan, atau ketakutan akan gagal yang menyurutkan harapan.

Medan, 5 Juli 2019




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline