Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Puisi | Dinding Kamar

Diperbarui: 20 Juni 2019   11:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Entah untuk berapa lama saya mengamati baik-baik betapa kusamnya dinding kamar ini. Sudah semenjak kapan saya sempat memperhatikan betapa catnya telah mengelupas di sana-sini, menguarkan bau batu bata tua, menyergap hidung saya dalam sebuah pengetahuan tentang perjalanan usia, rumah ini dan juga saya.

Pada setiap kelupasan catnya ada beberapa rahasia yang tidak bisa disangkal kegelapannya sampai sehitam apa. Rahasia tentang kerinduan yang terpendam di galian yang belum selesai. Rahasia mengenai cinta yang terendam dalam genangan yang tak kunjung usai.

Juga bagaimana berahasia tentang lupa yang menyembunyikan ingatan akan kenangan buruk yang membadai.

Tidak ada foto-foto di dinding yang bisa menggambarkan sebesar apa gelombang yang pernah menjadi prahara. Hanya ada relik kecil perahu yang masih terpaku dan hampir terjatuh menunggu waktu. Saya rasa itu biduk yang dulu saya tumpangi. Ketika saya masih merenangi banyak janji dan nyaris semua belum saya tepati.

Saya memutuskan untuk memejamkan mata dan menutup telinga. Dinding kamar ini seolah menatap tajam dan berbicara tidak ada habisnya. Tentang banyak hal yang ingin saya lupakan. Tapi selalu saja muncul dengan kuat di ingatan.

Pada dinding kamar ini saya melarutkan dinihari dengan hati-hati supaya saya tidak kehilangan percakapan dengan diri sendiri. Sebuah kontemplasi yang sesungguhnya telah mencegah saya membunuh memori.

Yang bisa menghilangkan separuh hati. Dan itu sama saja dengan bunuh diri.

Sampit, 19 Juni 2019




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline