Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Ketika Ritual Sakral Dimudikkan

Diperbarui: 19 Mei 2019   19:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Sebentar lagi, orang akan berduyun-duyun memadati ruang-ruang perjalanan. Mencari cium tangan bapa dan ibunda yang menunggu mereka dengan keriuhan senyuman. Dan sedikit airmata yang menggenang di toples rengginang yang menanti tangan-tangan tenggelam di dalamnya. wujud sederhana dari sukacita di kampung yang sederhana. Namun dipenuhi lekat aroma cinta.

Tak lama lagi, pusara dan nisan akan sebersih etalase toko-toko yang menjual kenangan. Kuburan akan seramai pasar-pasar penjual bunga, berikut doa-doa yang beterbangan di antara memori yang berlompatan.

Saling tabik dan bertukar sapa di ritual sakral saling memaafkan. Secara cuma-cuma orang-orang berjual beli senyuman. Masing-masing merasakan betapa rindu itu tidak pernah menyerupai batu-batu. Lebih mirip dengan atribut sendu yang tak lekang oleh waktu. Tinggal di beranda dan ruang tamu yang pada hari itu memutuskan untuk tidak gagu.

Terminal, stasiun dan bandara mengantarkan ribuan bus antar kota, pesawat dan kereta. Melambaikan tangan tanda mengiringkan jalan. Selamat hingga ke haribaan di mana dulu tembuni dikuburkan.

Kota-kota akan sedikit patah hati. Berdiam diri lalu memutuskan untuk berkontemplasi. Mengingat apa saja kebaikan para penghuni. Kemudian mulai bernyanyi. Tembang-tembang lawas yang bercerita tentang kerinduan. Di lampu-lampu merah perempatan. Juga di selokan-selokan yang bermampatan.

Bogor, 19 Mei 2019

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline