Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Puisi | Sepetik Mimpi untuk Seribu Puisi

Diperbarui: 15 Mei 2019   01:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Tiba-tiba saja, kau ingin aku membuatkanmu puisi. Tepat saat aku sedang berusaha menjerang diksi di panas matahari, menapisnya di serambi, agar bisa aku satukan dalam pelaminan dengan aroma melati.

Aku juga berusaha menjaring romantika di setiap tetesan hujan yang terhambur di pelataran, aku rasa banyak kata-kata yang penasaran untuk dituliskan daripada harus terbuang di pelimbahan.

Tunggulah beberapa jenak. Aku sedang menyingkirkan deretan onak di benak. Agar rangkaian kata tidak seperti rantai sepeda. Putus satu anak mata, maka perjalanan akan tertunda.

Puisi ini nanti tak perlu kau baca. Perhatikan saja rima yang menyawainya. Apakah berawalan sa yang berarti saya, atau berakhiran ta yang mengumumkan kata cinta.

Puisi ini jangan kau pigura. Letakkan saja di bawah bayangan lentera. Supaya kau bisa menyaksikan huruf-hurufnya menoktahi titik sebagai tanda baca. Bukan koma yang akan menjeda makna tamat itu seperti apa.

Kalau kau menginginkan seribu puisi lagi. Beri aku sepetik mimpi. Bersama bunga-bunga senyuman dari bibirmu yang berkurma, juga nektar dari kerlingan matamu yang bermaskara purnama.

Jakarta, 14 Mei 2019




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline