Ketika aku menuliskan puisi-puisi yang mengaliri sungai di lembah-lembah terasing, itu berarti aku sedang menelisik hening. Mengendapkan kekacauan yang ditimbulkan oleh buruknya cuaca, benak yang habis-habisan berlaga, maupun kegagalan rencana demi rencana.
Ketika aku memahat sajak-sajak renta tentang hikayat cinta yang menua di dalam kisah-kisah dahulu kala, itu bermakna aku sedang mendaki tebing-tebing terjal yang mengumpamakan dirinya adalah penjagal. Bagi keteguhan hati yang runtuh, kegigihan upaya yang tak utuh, serta kematian jiwa dalam nyanyian megatruh.
Ketika aku menyayat kata-kata dari kalimat-kalimat yang disuguhkan para pertapa saat meniupkan doa-doa ke angkasa yang nyaris mati, artinya aku sedang menenggelamkan diri dalam palung-palung sunyi. Mengenyahkan gaduh di kepala, keramaian di rongga dada, dan kericuhan yang berdentang-dentang di sekujur tubuh usia.
Ketika aku mencabik sayap-sayap metafora pada rangkaian kosakata yang aku persembahkan bagi hujan, awan dan kesendirian, maknanya aku sedang menyembunyikan diriku sendiri rapat-rapat. Dalam halimun paling pekat, kabut paling lekat, dan tingkah laku paling keparat.
Ketika sajak dan puisi menangisi gelombang sunyi di puncak dinihari, aku merasa sudah saatnya untuk menepi. Mencari pesisir paling mungkin tempatku berzikir, mengingat semua yang mangkir, dan tak hendak lagi bersekutu dengan isyarat-isyarat satir.
Bogor, 11 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H