****
Di pagi yang kehilangan gula, ijinkan aku mencuri sedikit senyummu yang berbisa. Aku ingin mematikan kesendirian. Juga membunuh kesepian.
Memandangmu seperti melihat lukisan yang tergantung di dinding kamar. Mengantar malam di mata yang nanar. Agar segera terjerembab dalam dengkur yang samar. Di sana, aku mereka-reka sendiri mimpiku seperti apa. Berbincang denganmu tentang apa saja. Tapi tidak tentang cinta.
Karena berbicara tentang cinta di dalam mimpi. Sama saja dengan hanya memimpikannya sendiri.
----
Cinta yang kupendam. Tak sempat aku nyatakan. Karena kau telah memilih. Menutup pintu hatimu...
****
Memendam cinta. Tak ubahnya menyatukan keping-keping keranda, mengusungnya tanpa upacara, lalu menguburkannya tanpa doa-doa.
Arwah cintanya lantas bergentayangan. Menjadi kisah horror yang mencekam. Mencekik tenggorokan setiap waktu. Seperti ular derik terpanggang di atas batu. Ketika kemarau sedang memuncak. Tepat saat kericuhan hati beranak pinak.
Aku bukan tak sempat menyatakan cinta. Aku hanya ditelikung masa. Waktu pintu hatimu menutup paksa. Tak membiarkanku bertamu dengan sukarela. Mengajariku menjadi penyamun jalang. Melanun langkahmu dalam perjalanan pulang.
----
Ijinkan aku membuktikan. Inilah kesungguhan rasa. Ijinkan aku menyayangimu.....
****
Aku tak harus membuktikan apa-apa. Bagiku cinta terlalu sempurna untuk dikacaukan genetikanya. Biarlah ia berlelah-lelah. Sudah pada takdirnya cinta memang mesti dijarah. Daripada menjadi sejarah yang punah.
Kesungguhanku. Lebih langit dari segala biru. Lebih pahit dari segala haru-biru. Lebih sakit dari segala sayatan sembilu.
Karena itu, ijinkan aku berucap sayang lalu mengajakmu pulang. Aku sudah membangun dangau di tengah ladang. Tempat kita bersama-sama memanen waktu senggang. Sebab sebelumnya, kita terlalu sibuk membuang potongan rindu yang begitu lengang.