Sembari duduk di teras yang lampunya tak memercikkan cahaya apa-apa, seorang perempuan menjatuhkan matanya ke sudut sempit dari langit. Menyaksikan nyala senja memadam di balik bukit.
Perempuan itu menjenguk ruang hatinya. Ada beberapa rahasia di sana. Tertulis di sebuah diari yang koyak. Bekasnya meninggalkan jejak. Dari masa silam yang sebagiannya rusak. Oleh ketajaman pena yang berlumuran bisa. Dari airmatanya yang mengering secara terpaksa.
Sore ini, Ia hendak menitipkan dua rahasia kepada senja. Saat ini, ruang memorinya terlalu penuh dengan asa. Tak ada sisa untuk sesuatu yang seharusnya tak bersisa.
Rahasia pertama tentang cintanya yang kandas diretas oleh waktu, dilibas pikiran yang membatu, lalu dibilas pecahan sembilu.
Ia ingin senja membawa rahasia itu ke tempat paling terpencil di mana anginpun akan memfosil.
Rahasia kedua tentang harapannya agar bisa menyulam rembulan, menjahitnya dengan wangi pandan, kemudian membuatnya menjadi purnama tak berkesudahan.
Ia ingin senja mengirimkan rahasia itu ke angkasa. Bergabung bersama doa-doa. Mencapai pelataran Tuhan. Lalu minta supaya diturunkan bersama hujan.
Pada hujan pertama yang akan tiba esok atau lusa. Perempuan itu tahu rintik yang mana telah menjatuhkan rahasia kedua. Ia akan mencuci muka bersama genangannya. Agar harapan tak pernah lari lagi darinya.
Jakarta, 14 April 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H