Nyaris tengah malam dan saya masih tak bosan menikmati hujan di sebuah beranda yang banyak sekali mengabulkan pinta saya terhadap cinta. Melalui sajak dan puisi yang seringkali mengadakan kenduri untuk menyelamati hati.
Hujan mengguyur terus-terusan seolah tak pernah kehabisan awan. Saya mulai berpikir mungkin saja langit sedang berdzikir. Mendoakan tanah dan bangsa ini serta menghindarkannya dari saling berkelahi.
Saya tak ingin kantuk menyerang sebelum saya sempat menyaksikan hujan menjatuhkan tetes terakhirnya malam ini. Saya ingin menjadi saksi. Betapa berteman dengan hujan bukanlah kesia-siaan. Apalagi bagi lelaki seperti saya yang sering menyumpahi ketidaksempurnaan.
Lalu saya teringat pada sepotong sajak cinta yang bercerita tentang perempuan yang menyiangi melati di hatinya yang sepi. Saya sempat beretorika seandainya dia ada di sini. Menemani saya menghitung rintik hujan agar tak ada satupun yang terlewatkan. Tentu itu sangat melelahkan. Tapi saya yakin akan sangat menyenangkan.
Apakah saya mempunyai hak yang cukup setelah berbicara mengenai hujan dan negara lalu saya menyuguhkan lamunan pada kesunyian dan cinta?
Ini retorika selanjutnya karena saya memang ingin bercanda sebelum tempias yang menjilati kaki ini berhenti. Sebelum saya menerima dengan rela saat malam mulai menerkam kornea. Membiarkan saya merenangi mimpi saya. Di kolam-kolam yang saya gali sendiri tanpa digenangi airmata.
Bogor, 13 April 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H